Dinding
putih berhiaskan kayu yang bertahta meski tak kokoh
Langit
langit sarang laba-laba yang teruntai
Seakan turut
berbahagia merajut hari
Berjelaga
hingga kemudian rapuh dan tak berbekas oleh waktu
Bias angin
mengalun masuk ke sudut ruangan itu
Penuh makna
ketika tirai melambaikan mungil tubuhnya
Memaksa yang
lain turut bergerak halus perlahan
Hingga angin
memanjakan setiap yang ia temui
Aku turut
bertemankan laba laba dan buaian angin saat itu
Disudut indah
yang aku pun lupa sudah seperti apa sekarang
Di tepian
damai yang dengannya aku tumbuh menjadi gadis kecil
Ia tak
pernah biarkan aku merasakan basah air hujan, meski kadang tetesan air memaksa
masuk.
Didalamnya
aku merasa hangat meski terkadang menggigil saat bumi bermandikan hujan
Didalamnya
aku merasa aman meski suara malam buatku bergidik
Dan yang
paling ku ingat dulu, tidurku selalu saja nyenyak meski tak berselimut dan
beralaskan kasur yang hampir sejajar dengan bumi.
Terlebih
saatku terjaga selalu saja ada pantulan cahaya seperti titik dari langit-langit
kamar
Masih lekat
dipikiranku bagaimana aku berlari menampung air yang buat istanaku basah
Bagaimana
aku menyapu halaman dengan daun kering yang gemar bermain dengan tanah
Bagaimana
aku menghidupkan cahaya lampu untuk sekedar menerangi malam yg gulita
Dan aku yang
selalu berharap malam cepat berakhir karena aku takut gelap, takut bisingnya
jangkrik yang menjadi tetanggaku..
Kini, meski
istanaku terasa begitu kokoh dibanding dulu, meski tak lagi ada tetes air
langit Yang membasahi
Meski tak
perlu kuhidupkan cahaya lilin, namun aku merasa begitu damai dan bersahabat
dalam kesederhanaan Kala itu
Meraih
setiap asa dan gempita dalam hidup
Istanaku
dulu hanya ada aku, ayah dan mama, kini syukurku telah kau lengkapi keluargaku
dengan sempurna. Dan Sang Maha mengetahui setiap tempat yang terbaik untuk
menjalani hari demi Sujud kepadaNYA.
Comments
Post a Comment