Skip to main content

Aku Ikhlas Rabb..



Tanpa terasa air mata jatuh membasahi mukena putihku, "Ya Rabb, hamba ikhlas", lirih terucap sembari menyeka wajah dan aku kembali sujud, menumpahkan segala sendu berharap sang Maha Pemurah menguatkanku. Perih di perut ini masih sangat terasa, cerita haru biru kala itu masih membekas.  

Aku sangat berbahagia, penantian sebelas tahun akhirnya Allah ijabah, perasaan syukur pun dirasakan suamiku, orang yang selalu bersabar dan senantiasa menemaniku. Aku berusia hampir kepala empat, aku adalah ibu dari empat orang anak, tiga diantaranya telah Allah tempatkan di surga-Nya walau aku belum sempat menyusuinya, memandikannya bahkan menyuapinya, Allah lebih sayang mereka. Hanya satu orang gadis kecil pemilik senyum indah yang kini berusia sebelas tahun yang melengkapi keluarga kecil kami.

Kehamilan kali ini sangat aku damba, ikhtiar dan do'a selalu ku panjatkan. Aku rindu mendengar suara tangisan bayi, membelai lembut kulit tubuhnya dan sekarang Allah berkenan. Aku membatasi Aktifitas harian dan lebih banyak beristirahat, pengalaman keguguran sebelumnya membuatku lebih khawatir. Suamiku pun tak membiarkanku letih saat tahu aku tengah hamil.

"Bu, bapak tadi ngobrol dengan teman, istrinya juga tengah hamil setelah penantian beberapa tahun", ucap suamiku membuka obrolan.

"Lalu bagaimana pak ?", aku menemaninya duduk di ruang tengah. 

"Dulu istri teman bapak ini waktu di USG, dokter bilang kalau ia hamil kosong tapi ternyata hamil beneran",jawab suamiku dengan serius.

"Jadi, setelah di konfirmasi hamil kosong, ternyata beberapa bulan setelahnya janin berkembang dan sehat pak?",tanyaku untuk memastikan.

"Iya bu, makannya kehamilan ibu kan baru beberapa minggu, kita tidak perlu ke dokter dulu, nanti malah dibilang hamil kosong", tambah suamiku.

Sepertinya kekhawatiran suamiku akan kehamilan yang sudah - sudah ditambah cerita temannya membuat ia berpikir untuk tidak ke dokter dulu. Namun ia memberikanku beberapa vitamin dan minuman herbal sesuai saran dari temannya. 

Aku pun mengikuti arahan suamiku dan menikmati masa masa kehamilan dengan benar-benar bed rest. Suamiku dengan penuh ikhlas menyiapkan segala kebutuhanku mulai dari sarapan, menyapu dan menyuci piring. Aku sangat mengerti, ia begitu mengharapkan kehamilan ini sehingga ia menjagaku agar tak kelelahan. 

Pekan ini usia kehamilanku menginjak sembilan minggu, tak terasa sebentar lagi aku akan menggendong hangat tubuh kecil anakku dan menidurkannya dalam pelukan. Aku juga bersyukur karena ibu menawarkan diri untuk menginap di rumah selama masa kehamilan mudaku. 

Sampai suatu malam sekitar jam tiga, aku merasakan sakit di bagian perut, aku pun bergegas ke toilet. Namun setelah itu, aku merasakan sakit yang teramat di perut hingga sekitar punggung, dengan langkah tertatih aku kembali ke kamar dan membangunkan suamiku yang tengah lelap.

"Pak, ini perut ibu kok sakit banget, Masya Allah sakit pak", aku menahan sakit sambil sesekali memejamkan mata dan nafas tak beraturan.

"Kenapa bu? Sakitnya bagaimana?",suamiku panik kemudian memijat bagian belakang tubuhku. 

"Perut ibu sakit pak, Ya Allah", aku merasakan sakit yang tidak bisa digambarkan.

"Ibu, minum air putih dulu bu", suamiku menyuapi air minum yang biasa ku taruh diatas nakas.

"Pak, ibu nggak kuat pak", aku menyandarkan badan, sambil terus meringis kesakitan.

Ibuku terbangun dari tidurnya mendengar kegaduhan di kamar kami.

"Ya Allah gusti, kenapa nduk?", Ibuku tak kalah panik kemudian memijit pelipisku dan merapikan rambutku yang sudah tak beraturan.

"Ibu, sakit sekali bu. Perut ku, nggak kuat lagi bu" , aku semakin melemah, ini jauh diatas rasa sakit, teramat sakit.

"Ibu, tolong jaga Dian dulu, saya akan ke rumah Pak RT untuk meminjam mobil kemudian kita ke rumah sakit", ucap suamiku  panik kemudian berlari keluar rumah.

Suamiku pulang ke rumah dengan tergopoh-gopoh, ia berkata bahwa ambulans akan segera datang. Entah bagaimana ia menghubungi ambulans, apakah mobil Pak RT tidak bisa dipinjam?, aku bahkan terasa sulit bernafas.

"Pak, ibu minta maaf jika selama ini ibu banyak menyusahkan bapak, ibu banyak salah sama bapak, ibu sudah nggak kuat pak", ucapku gemetar sambil menggenggam tangannya, air mata ini bercucuran membasahi pipi.

"Nggak bu, jangan ngomong gitu, bapak sayang ibu", tangis suamiku pecah.

"Bu, Dian minta maaf belum bisa buat ibu bahagia", aku tatap wajah sedih ibuku.

"Ya Allah nduk", ibuku terisak tak mampu melanjutkan ucapannya sambil memelukku.

"Pak, ibu mau tidur dulu ya pak, biar sakitnya hilang", aku pun merasakan segalanya menjadi putih, tak tampak lagi suami dan ibuku. Rasa sakitku perlahan hilang, ah aku merasa sangat tenang. 

Apakah ini akhir pengabdianku sebagai istri dan anak ?. Apakah ini akhir kehidupanku?

"Ibuuuu..bangun bu, jangan tidur bu, Allahu Akbar, Ya Allah Ya Rahman",suamiku berteriak dan menangis sambil menggoncang badanku sekuat tenaganya demi menyadarkanku kembali.

Ya Rabb, apakah aku sudah sembuh? Aku tak lagi merasakan sakit yang teramat tadi, tapi kenapa semuanya menjadi putih, suara suamiku terdengar sangat jauh padahal ia sangat dekat denganku.

Apakah aku? 

"Bapak, ibu kenapa pak?", Terdengar suara anakku parau ketakutan dan terisak.

Tiba-tiba aku terbatuk dan tersadar, suamiku masih memelukku namun kemudian rasa sakit itu kembali kurasakan, tubuh lemah ini akhirnya ditandu dan dinaikkan ke ambulans menuju rumah sakit.

Para perawat segera menurunkanku dengan hati-hati dan dokter memeriksaku kemudian memberikan obat pereda nyeri, sakit ini sedikit berkurang. 

Ya Allah, kenapa perutku sesakit ini ? Apakah bayiku akan selamat, lindungilah aku dan bayiku Rabb. Aku kembali terisak sambil menggenggam tangan suamiku. Suamiku menghapus bulir di pipiku sembari tersenyum, dia memang selalu menguatkanku walau hatinya pun pasti sangat bersedih.

Dua jam kemudian dokter spesialis mendatangiku dan langsung melakukan USG.

"Bu, ini kehamilan di luar kandungan atau kehamilan ektopik, kehamilan ini harus dihentikan bu karena akan mengancam nyawa ibu", dokter serius menjelaskan.

"Ya Allah", aku menutup mataku dan menangis seakan tak percaya karena aku tahu, janinku tidak akan selamat.

"Lakukan yang terbaik dok", ucap suami berat sambil berkaca-kaca. 

Dokter pun segera menyuruhku bersiap karena operasi akan segera dilangsungkan.

Ya Allah, aku pasrah dengan takdir yang kau beri jika hamba harus kehilangan anak yang ke-empat kalinya. Beri aku kekuatan untuk menghadapinya Rabb, mulutku terus berucap saat operasi dilangsungkan. Air mata ini tanpa sadar mengalir, Aku ikhlas Rabb. 

Aku ingat betapa suamiku sangat mengharapkan kehamilan ini, begitupun keluargaku. Tapi Allah berencana lain, Allah belum mengizinkanku memiliki anak saat ini. 

"Bu, ibu yang sabar ya bu. Takdir Allah akan selalu indah kalau kita bisa ambil hikmahnya", ucap suamiku sambil membelai rambutku.

"Maafkan ibu pak", aku kembali terisak sambil memeluk lengannya.

"Nggak ada yang harus dimaafkan bu, ini semua sudah kehendak Allah, sekarang ibu harus lekas sembuh, nanti Allah akan ganti nikmat yang lebih baik", hibur suamiku.

"Aamiin ya Mujib", aku mengangguk lemah.


Anak-anakku, tunggu bapak dan ibu di surga ya nak. Aku terlelap dengan mata basah.


Berdasarkan kisah nyata.

Karimun, 13 Agustus 2020



#RumbelMenulisIPBatam

#RulisKompakan #KomunitasIPBatam










Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

With Nona Papua (Kak Vio Fatubun) :*

Puisi Harapan

Seberkas Cahaya Oleh : Bayu Indah Pratiwi Arakan mega tergerai dibatas senja Menyiratkan warna emas nan manja Dalam sujud penuh iba ku menghamba Agar kasih ini berlabuh kepadanya Ku untai aksara mesra tentangnya Mengalun merdu penuh bahagia Aku hanya mampu mengadu pada pemilik cinta Berharap Khalik satukan kita Tirai asa dan cita ku patrikan Mengurai mimpi menjadi nyata Menyulap sepi menjadi riuh tawa Membingkai harapan penuh do'a Agustus 2015 akad terucap dalam khidmat Linangan haru mengalir sesaat Dalam renda cinta yang teramat Dalam bulir kasih yang tersemat Kisah ini anugerah untukku Menyisakan bahagia yang tak lekang oleh waktu Berjelaga dalam hidup yang berliku Menggapai harap di barisan sajakku Kini, izinkan aku menemani hari mu Mengubah gulana menjadi Renjana Memintal intensi hingga tutup usia Merajut harap bercita jannah Wahai Rabb, izinkan aku mencinta Mendamba hasrat halal nan sakinah Beriringan menapaki denyut kehidupan Bersa...

Jurnal 1 Bunda Shalihah "IDENTIFIKASI MASALAH"

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Bismillah, Masya Allah Tabarakallah rasanya sudah lama tidak menyambangi blog yang berisi perjalanan perkuliahan di Institut Ibu Profesional. Atas izin Allah saat ini saya memasuki perkuliahan baru di Kampus Ibu Pembaharu yakni jenjang Bunda Shalihah. Sebelumnya, ucapan terima kasih tak terhingga kepada Pak Suami yang telah memberikan ridhonya untuk saya bisa kembali belajar dan bertumbuh di IP. Perjalanan selama enam bulan kedepan dimulai dengan langkah semangat dan sorot mata menantang (akan banyak polisi tidur, batu kerikil dan hujan badai pastinya) tapi yakin, diri ini pasti mampu.  Setelah menyimak highlight materi dari bu Dekan, saya bergegas ke perpustakaan kampus kemudian sembari selonjoran dan mengambil nafas dalam saya mulai membaca dan memahami materi pertama perkuliahan yaitu : Identifikasi Masalah.  Mengutip dari Wikipedia,  Masalah    didefinisikan sebagai suatu pernyataan tentang keadaan yang belum ses...